Halaman

Rabu, 23 November 2011

penyakit yang menyertai kehamilan dan persalinan

PENYAKIT YANG MENYERTAI KEHAMILAN DAN PERSALINAN

BAB II
                                                                   PEMBAHASAN


1.      Penyakit jantung

Keperluan janin yang sedang bertumbuh akan oksigen dan zat-zat makanan bertambah dan berlangsungnya kehamilan, yang harus di penuhi dalam darah ibu. Banyaknya darah yang beredar bertambah, sehingga jantung harus bekerja lebih berat. Karena itu, dalam kehamilan selalu terjadi perubahan-perubahan dalam system kardiovaskular yang biasanya masih dalam batas-batas fisiologik

Perubahan-perubahan itu terutama disebabkan:

  1. karena hidremia (hipervolemia)dalam kehamilan, yang sudah dimulai sejak umur kehamilan 10 minggu dan mencapai puncaknya antara 32 dan 36 minggu;
  2. karena uterus gravidus yang makin lama makin besar mendorong diafragma ke atas, ke kiri, dan ke depan, sehingga pembuluh-pembuluh darah besar dekat jantung mengalami lekukan dan putaran.

Adams mendapatkan peningakatan volume plasma darah yang dimulai kira-kira akhir trimester pertama dan mencapai puncaknya pada minggu ke 32-34, yang selanjutnya menetap selama trimester terakhir kehamilan, di mana volume darah bertambah sebesar 22%. Besar dan saat terjadinya peningkatan volume plasma berbeda dengan peningkatan volume sel darah merah; hal ini mengakibatkan terjadinya anemia delusional (pencairan darah)

            Setelah 12-24 jam pascapersalinan terjadi peningkatan volume plasma karena proses imbibisi cairan dari ekstravaskuler ke dalam pembuluh darah yang kemudian akan diikuti oleh periode diuresis pascapersalinan yang mengakibatkan terjadinya penurunan volume plasma (adanya hemokonsentrasi). Dua minggu pascapersalinan merupakan periode penyesuaian untuk kembali ke nilai volume plasma seperti sebelum hamil.
Dalam kehamilan frekuensi detik jantung agak meningkat dan nadi rata-rata mencapai 88 per menit dalam kehamilan 34-36 minggu. Dalam kehamilan lanjut prekordium mengalami pergeseran ke kiri dan pula sering terdengan bising sistolik di daerah apeks dan katup pulmonal. Kita harus waspada dalam membuat diagnosis penyakit jantung dalam kehamilan apbila di jumpai gejala-gejala seperti itu. Jadi hendaknya jangan kita membuat diagnosis penyakit jantung pada wanita yang tidak menderitanya, dan sebaliknya penyakit jantung jangan sampai tidak dikenal.

Saat-saat berbahaya bagi penderitra ialah:

1.      kehamilan 32-36 minggu apabila hipervolemia mencapai puncaknya.
2.      partus kala II apabila wanita mengerahkan tenasganya untuk meneran
3.      masa postpartum, karena dengan lahirnya plasenta anastomosis arteria-vena hilang dan darah yang sehrtusnya masuk kedalam ruang intervilus sekarang masuk ke dalam sirkulasi besar.

Dalam tiga hal tersebut diatas jantung harus bekerja lebih berat. Apabila tenaga volume cadangan jantung di lampau, maka terjadi dekompensasi kordisi; janting tidak sanggup lagi menunaikan tugasnya.

Perubahan volume plasma darah yang terjadi pada penderita penyakit jantung merupakan proses adaptasi sebagai upaya konpensasi untuk mengatasi kelainan yang ada dan jangka waktu kelainan yang timbul. Penderita dengan gangguan kardiovaskular mempunyai toleransi yang sangat buruk terhadap penurunan volume darah dan pada saat yang sama juga tidak beradaptasi terhadap kelebihan volume sirkulasi. Volume darah yang terdapat dalam sirkulasi penderita berada dalam keseimbangan sesuai dengan kelainan yang ada.

Perubahan volume darah yang di temukan pada penderita penyakit jantung dapat digolongkan dalam 3 kategori.

1)      Oligositemik-hipoplasmik-hipovolemia: keadaan ini di temukan pada penderita yang mengalami steonosis katup.
2)      Polisitemik-hiperplasmik-hipervolemia: di temukan pada penyakit jantung bawaan di mana terjadi campuran antara darah arteri dan vena, hubungan arteri dan vena, regurgitasi dan hambatan aliran darah.
3)      Polisitemik-normoplasmik atau hiperlasmik hipervolemia ditemukan pada penderita penyakit jantung bawaan, di mana terjadi campuran darah arteri dan vena yang hebat, tetraligy fallot, defek septum, dan patensi duktus arteriosus.

   Raharja, rachimhadhi, prihartono dan samil (1988) mendapatkan volume plasma pada kasus penyakit jantung kelainan katup dalam kehamilan, lebih rendah dari kehamilan normal baik pada usia kehamilan 32 minggu, partus kala I maupun saat dua minggu postpartum; dengan anemia sebagai penyerta yang sering di temukan.
Gejalah klinis tampak bahwa makin meningkat kelas fungsional penyakit jantung yang di derita, maka volume darah cenderung lebih rendah.

Sebaliknya penyakit jantung memberi pengaruh tidak baik pada kehamilan dan janin dalam kandungan. Apabila ibu menderita hipoksia dan sianosi, hasil konsepsi dapat menderita pula dan mati, kemudian disusul oleh abortus. Apabila konsepsinya dapat hidup terus, anak dapat lahir premature atau lahir cukup bulan akan tetapi dengan berat badan rendah (dismaturitas). Selain itu janin bisa menderita hipoksia dan gawat janin dalam persalinan, sehingga neonatus lahir mati atau dengan nilai AFGAR rendah. Ditemukan konplikasi prematuritas dan BBRL pada penderita penyakit jantung dalam kehamilan lebih sering terjadi pada ibu dengan volume plasma pada usia kehamilan 32 minggu dan partus kala I yang lebih rendah. Juga nifas yang merupakan masa yang berbahaya dan mengancam keselamatan ibu.

Hampir semua kelainan kardiovaskuler, baik yang bawaan maupun yang di peroleh, baik yang organic maupun yang fungsionil, dapat dijumpai pada wanita hamil, hanya frekuensi masing-masing tidak sama. Frekuensi penyakit jantung dalam kehamilan kira-kira 1-4%; yang tersering ialah penyakit jantung akibat demam rheuma.
Suryadi dan samil RSCM mendapatkan 31 dari 39 (79,48%) kasus penyakit jantung dalam kehmilan adalah dengan kelainan katoup kronik, di mana 96,777% dengan kelainan katup mitral, 87,09% dengan kelainan dasar steonosis katup mitral. Sebagian kasus berada dalam kelompok kurun reproduksi sehat yaitu 20-29 tahun dengan paritas 2-5. pada tahun 1987 paritas ini bergeser menjadi lebih banyak pada paritas 0-1. disini tampak bahwa peran keluarga berencana cukup besar untuk dapat menurunkan kejadian penyakit jantung dalam kehamilan. Dalam tahu-tahun terakhir sering pula dijumpai kelainan jantung bawaan.

Diagnosis
Dari anamnesis sudah sering diketahui wanita itu penderita penyakit jantung, baik sejak masa sebelum ia hamil maupun dalam kehamilan-kehamilan yang terdahulu. Terutama penyakit demam rheuma mendapat perhatian khusus dalam anamnesis, walaupun bekas penderita demam rheuma tidak selalu menderita kelainan jantung.

Burwell dan Metcalfe mengajukan 4 kriteria, satu di antaranya sudah cukup untuk membuat diagnosis penyakit jantung dalam kehamilan:

1)      Bising diastolic, presistolik, atau bising jantung terus menerus;
2)      Pembesaran jantung yang jelas;
3)      Bising jantung yang nyaring, terutama bila disertai thyill;
4)      Aritmia yang berat.

Wanita  hamil yang tidak menunjukkan salah satu gejala tersebut di atas jarang menderita penyakit jantung. Penyakit jantung berat tidak sulit untuk di kenal. Akan tetapi, karena diagnosis penyakit jantung dalam kehamilan lebih sulit seperti  di jelaskan di atas, maka jika ada kemungkinan adanya penyakit  tersebut harus di minta pendapat seorang dokter yang lebih ahli. Bising diastolic atau presistolik  yang di sertai pembesaran jantung yang cukup khas bagi stenosis mitralis akibat demam rheuma.

Klisifikasi penyakit jantung  dalam kehamilan

Klasifiakasi penyakit jantung yang sifatnya fungsionil dan berdasarkan keluhan-keluhan yang dahulu dan sekarang di alami oleh penderita-seperti telah di terima oleh New York Heart Association- sangat praktis dalam penanggulangan dan penentuan prognosis penyakit jantung dalam kehamilan.
Klasifikasi itu sebagai berikut.

Kelas I
Para penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan fisik, dan tanpa gejala-gejala penyakit jantung apabila mereka melakukan kegiatan biasa.

Kelas II
Para penderita penyakit jantung dengan  sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik biasa menimbulkan gejala-gejala insufiensi jantung, seperti kelelahan, jantung berdebar (palpitasi kordis), sesak nafas atau angina pectoris.

Kelas III
Para penderita penyakit jantung dengan banyak pembatasan dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang kurang dari kegiatan biasa menimbulkan gejala-gejala insufiensi jantung seperti di sebut dalam kelas II.

Kelas IV
Para penderita penyakit jantung yang tidak mapu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa menimbulkan keluhan. Waktu istirahat juga dapat timbul gejalah-gejalah insufiensi jantung, yang bertambah apabila mereka melakukan kegiatan fisik walaupun yang sangat ringan.

Penanganan
Penanganan wanita hamil dengan penyakit jantung, yang sebaiknya di lakukan dalam kerjasama dengan ahli penyakit dalam atau kardiog, banyak ditentukan oleh kemampuan fungsionil jantungnya.

Kelainan penyerta sebagai factor predisposisi yang dapat memperburuk fungsi jantung ialah: 1) peningkatan usia penderita dengan penyakit jantung hipertensi dan superimposed preeklamsia dan eklamsia; 2) aritmia jantung .atau hipertrofi ventrikel kiri; 3) riwayat dekompensasi kondisi; 4) anemia.

Sebaliknya, Hipotensi juga tidak baik, terutama pada wanita dengan septum terbuka. Apabila hal-hal di atas tidak di cegah, maka penderita masuk ke kelas yang lebih tinggi. Kenaikan berat badan yang berlebihan, infejksi, serta retensi air harus di cegah, dan anemia harus di obati.

Pengobatan dan penatalaksanaan penyakit jantung dalam kehamilan tergantung pada derajat fungsionilnya, dan ini harus ditemukan pada setiap kunjungan periksa hamil.

Kelas I
Tidak ada pengobatan tambahan yang di butuhkan

Kelas II
Umumnya penderita pada keadaan ini tidak membutuhkan pengobatan tambahan, tetapi mereka harus menghindari aktifitas yang berlebihan, terutama pada kehamilan usia 28-32 minggu.

Kelas III
Yang terbaik bagi penderita seperti ini adalah di rawat di rumah sakit selama hamil, terutama pada usia kehamilan 28 minggu. Biasanya dibutuhkan pemberian diuretika.

Kelas IV
Penderita dalam keadaan ini mempunyai resiko yang besar dan harus di rawat di rumah sakit selama kehamilannya.

Apabila timbul gejala-gejala dekonfensasi kordis, wanita harus segera di rawat dan digolongkan kedalam kelas satu tingkat lebih tinggi.penderita harus istirahat baring dan diberi pengobatan dengan digitalis. Dalam persalingan diperlukan pengawasan khusus dan sedapat-dapatnya diusahakan partus pervaginam. Seksio sesarea hanya dapat dilakukan atas indikasi obstetric, seperti plasenta previa dan disproporsi sefalo-pelvik.
Kala persalinan biasanya tidak berbahaya. Rasa nyeri dan penderitaaan perlu dikurangi, lebih-lebih apabila persalinan akan diperkirakan berlangsung cukup lama. Pendekatan secara psikologis supaya ibu tetap tenang dan merasa aman mempunyai pengaruh yang sangat baik. Untuk mencegah timbulnya dekompensasi kordis sebaiknya dibuat daftar pengawasan khusus untuk pencatatan nadi dan pernapasan secara berkala : dalam kala I setiap 10-15 menit dan kala II setiap 10 menit. Apabila nadi menjadi lebih dari 100/menit dan pernapasan lebih dari 28/menit, lebih-lebih apabila disertai sesak napas, maka keadaan sangat berbahaya ( dekompensasi kordis membakat ) dan wanita harus diobati dengan digitalis. Biasanya disuntik intravena perlahan-lahan dengan delabosit 1,2 mg – 1,6 mg dengan dosis permulaan 0,8 mg. suntikan dapat diulang satu atau dua kali lagi dengan selang waktu 1-2 jam. Disamping itu pemberian oksigen, morfin (10-15 mg) dan diuretikum, seperti furosemik (lasix), bemanfaat pula.

Dalam kala II, apabila timbul gejala-gejala dekompensasi, anak boleh lahir spontan, hanya ibu sedapat-dapatnya dilarang meneran. Apabila janin belum lahir setelah persalinan kala II berlangsung 20 menit atau ibu tidak dapat dilarang meneran kuat, maka sebaiknya persalinan diakhiri dengan forseps atau ekstraktor vakum. Selain itu penderita dapat menunjukkan gejala-gejala gawat jantung selama kehmilan dan pendarahan postpartum, infeksi nifas dan trombo-embolismus merupakan komplikasi yang jauh berbahaya bagi ibu dengan penyakit jantung. Sebaiknya penderita jantung dirawat di RS sekurang-kurangnya 14 hari setelah melahirkan dengan istirahat dan mobilisasi tahap demi tahap serta menghindari infeksi.

Penderita dalam kelas III dan IV tidak boleh hamil karena bahaya terlampau besar. Apabila ia hamil juga, maka pada kehamilan kurang dari 12 minggu, abortusterapiutik perlu dipertimbangkan. Pada kehamilan berjalan terus, untuk mencegah timbulnya dekompensasi, sebaiknya ia harus berbaring terus selama kehamilan dan nifas. Sekali terjadi dekompensasi dalam jalannya kehamilan penderita mutlak harus dirawat dan berbaring terus sampai setelah anak lahir. Setelah kala III selesaiharus dilakukan pengawasan yang ketat untuk terjadinya gagal jantung atau edemaparu.
Penanganan penderita dalam kelas IV pada dasarnya sama dengan apa yang dilakukan bagi penderita yang mengalami dekompensasi dalam kehamilan , persalinan dan nifas. Tujuan utama ialah memberabtas dekompensasi, karena dengan hanya demikian persalinan akan berlangsung cukup aman.

Penyakit Jantung reumatik
Perubahan kehamilan yang menyulitkan diagnosis demam rematik adalah : nyeri sendi pada wanita hamil mungkin oleh karena sikap tubuh yang memikul beban yang lebih besar sehubungan denga kehamilannya serta meningkatkan laju endap darah dan jumlah leukosit. Bila terjadi demam rematik pada kehamilan maka prognosisnya akan burk.

Adanya aktifitas demam rematik dapat diduga bila terdapat :

1. Suhu subfebris dengan takikardi yang lebih cepat dari semestinya.
2. Leukositosis dan laju endap darah yang tetap tinggi.
3. Terdengar desir jantung yang berubah-ubah sifatnya maupun tempatnya, dan
4. C reaktif protein positif dan ASTO 300Todd unit atau lebih.

Kelainan otot jantung-
Kelainan katup jantung yang sering di jumpai pada kehamilan berturut-turut adalah mitral stenosis(MS), gabungan MS dengan mitral insufiensi (MS-MI), mitral insufiensi(MI), aorta stenosis(AS), aorta insufiensi (AI), gabungan antara AS dan AI (AS-AI), penyakit katup pulmonal dan penyakit katup trikuspidal.
Angka kejadian kelainan katup jantung di RSCM(1983) berkisar 69%-79% dari penyakit jantung dalam kehamilan. Penelitian luar negeri mendapatkan angka antara 85%-95%; perbedaan ini kemungkinan besar di sebabkan oleh perbedaan tingkat sarana diagnostik.mengingat indonesia adalah negara yang sedang berkembang dengan tigkat sosioekonomi yang belum maju, sebenarnya di harapkan angka kejadian kelainan katup jantung lebih tinggi di bandingkan dengan negara yang sudah maju.
 Mitral stenosis
Mitral stenosis (MS) merupakan bagian terbesar dari penyakit jantung rematik dalam kehamilan. Kehamilan akan memperbesar terjadinya komplikasi MS berupa edema paru dan atrial fibrilasi. Komplikasi dapat terjadi pada kehamilan, persalinan, ataupun dalam masa nifas. Kejadian dapat terjadi tiba-tiba setelah persalinan tanpa memberikan gejalah awal lebih dulu.
Pada MS, setiap peningkatan aliran darah menyebabkan peningkatan tekanan pada atrium kiri, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler paru.hal ini mengakibatkan risiko untuk terjadinya komplikasi bendungan pembuluh darah paru atau edema paru menjadi lebih besar. Gejalah bendungan paru akan tampak pada usia kehamilan 20 minggu dan semakin besar pada saat persalinan. Bertambahnya frekuensi denyut jantung akan memendekkan waktu diastolik untuk mengalirkan darah ke katup mitral. Untuk mempertahankan curah jantung yang normal, maka di perlukan peningkatan tekanan atrium kiri. Meningkatnya volume darah paru menyeababkan pelebaran dari sistem paskuler paru, bertambahnya beban atrium kirisering menimbulkan komplikasi berupa fibrilasi atrial.
pada beberapa penderita, bising diastolik pada MS menjadi kurang jelas terdengar pada kehamilan oleh karena perubahan posisi jantung. Bunyi jantung III terdengar pada beberapa wanita hamil sering di salah tafsirkan sebagai opening snap. Selama kehamilan, hiperventilasi sering di salahtafsirkan sebagai dispnoe. Komplikasi yang terpenting dari MS adalah edema paru dan payah jantung kanan. Pada payah jantung biasanya terjadi gangguan miokardium, kardiomegali dan fibrilasi atrial.
Mitral insufiensi
Diagnosis mitral insufiensi (IM) di tegakkan bila terdengar bising sistolik derajat III atau lebih. Sebaiknya tidak membuat diagnosis MI organik selama kehamilan bila hanya berdasarkan bising sistolik saja, sebsb bising sistolik di apeks dapat ditemukan pada lebih dari 50% wanita hamil normal.
MI mengakibatkan bertambahnya beban volume atrium kiri dan ventrikel kiri, jaang menyebabkan hipertensi atrium kiri dan hipertensi pulmonal. Dekompensasijantung kiri dapat terjadi pada MI apabila sudah berlangsung lama sekali. Komplikasi yang sering menyertai MI adalah bendungan paru ringan, fibrilasi atrial, paroksismal atrial takikardi, emboli paru dan endokarditis bakterialis.
Tindakan bedah harus dipikirkan bila ditemukan tanda kemunduran fungsi ventrikel kiri berupa fraksi ejeksi, volume dan bentuk ventrikel kiri. Apabila terjadi payah jantung kiri, maka prognosisnya buruk oleh karena terjadi kerusakan miokardium yang menetap.
Aorta stenosis
Aorta stenosis( AI), terjadi aliran darah balik dari aorta ke ventrikelkiri pada waktu diastolik. Darah yang kembali dengan darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri menyebabkan peningkatan volume darah di ventrikel kiri sewaktu diastolik. Ventrikel kiri menyesuaikan dengan memperbesar kemampuan menampung darah sewaktu diastolik sehingga tidak terjadi peninggian tekanan ventrikel kiri, atrium kiri dan pembuluh pulmonal.
Dapat di temukan bising diastolik pada sela iga II kanan atau sepanjang garis sternalis kiri yang mulai terdengar segera setelah bunyi jantung II. Bising menjadi lebih jelas pada posisi duduk atau berdiri sesudah ekspirasi yang dalam, iktus kordis lebih lateral dari yang normal dan para perifer di temukan tekanan nadi yang besar, pulsasi arterial dapat terlihat di kuku dan pistol shoot sound pada arteri besar terutama arteri femoralis.tindakan bedah harus di prtimbangkan bila di temukan tekanan nadi yang bertambah, pembesaran jantung pada foto rontgen dan hipertrofi miokardium pada EKG. Juga  pada penderita dengan keluhan sedikit namun mengalami pembesaran jantung dalam waktu yang singkat atau penurunan fungsi ventrikel pada pemeriksaan invasif maupun non-invasif.
Penyakit katup pulmonal
Kelainan katup pulmonal oleh demam rematik dalam kehamilan jarang terjadi. Dengan meningkatkannya frekuensi pemakaian obat-obatan intervena, maka frekuensi kerusakan katup pulmonal dapat meningkat.
Penyakit katup trikuspidal
Kelainan katup trikuspidal juga sangat jarang terjadi pada kehamilan. Gejala kelainan katup ini  biasanya tertutup oleh gejala penyakit katup mitral atau katup aorta yang terjadi bersamaan.
Kardiomipati peripartum
Kardiomiopati peripartum adalah penyakit miokardium idiopatik yang terjadi pertama kali pada trimester III kehamilan atau dalam 5 bulan setelah melahirkan. Kriteria kardiomiopati paripartum adalah: 1) terjadi pertama kali antara trimester III kehamilan sampai 5 bulan pertama setelah melahirkan; 2) etiologi tidak dapat di temukan dan 3) tidak pernah menderita penyakit jantung sebelumnya.
Kelainan jantung bawaan
Biasanya kelainan jantung bawaan di ketahui oleh penderita sebelum kehamilan, akan tetapi kadang-kadang di kenal oleh dokter pada pemeriksaan fisik waktu hamil. Pada usia reproduksi dapat di jumpai koarktatio aortae, duktus arteriosus botalli persistens, defek septum serambi dan bilik, serta stenosis pulmonalis. Penderita tetralogi fallot biasanya tidak sampai usia dewasa kecuali apabila penyakit jantungnya dioperasi. Pada umumnya penderita kelainan jantung bawaan tidak mengalami kesulitan dalam kehamilan asal penderita tidak sianosis dan tidak menunjukkan  gejalah-gejalah lain dari luar kehamilan. Penyakit jantung bawaan dibagi atas: 1) golongan sianotik (right to left shunt); 2) golongan asianotik (left to righ shunt)
Golongan sianotik
Tetralogi fallot. Tetralogi fallot terdiri atas 4 kelainan yaitu defek septum ventrikel,stenosis pulmonal,over riding aorta,hipertrofi ventrikel kanan.Pada tekanan tertentu darah akan mengalir ke ventrikel kiri sewaktu sistole sehingga aorta menerima darah campuran antara darah arteri dan vena.Dengan semakin lanjutnya proses,maka tekanan di ventrikel kanan makin meningkat dan hipertrofi bertambah sehingga sianosis bertambah.
 Penyakit eisenmenger. Pada penyakit ini di temukan kelainan berupa: defek septum ventrikel (VSD), hipertrofi ventrikel kanan, aorta bergeser ke kanan bersamaan dengan dilatasi arteri pulmonalis dan resistensi pembuluh darah pulmonal yang meningkat. Pada kehamilan terjadi penurunan resistensi perifer, akibat kelainan ini maka terjadi aliran darah dari kanan ke kiri. Prognosis penyakit ini di tentukan oleh derajat hipertensi pulmonal.
Golongan asianotik
Patent ductus arteriosus (PDA). PDA adalah keadaan di mana masih tetap ada hubungan aorta dengan arteri pulmonal.akibatnya darah dari aorta sebagian masuk ke arteri pulmonalis karena tekanan darah dalam aorta lebih besar sehingga tekanan darah dalam arteri pulmonalis bertambah. Bila keadaan ini berlangsung lama, tekanan dalam arteri pulmonalis akan menjadi lebih besar daripada tekanan dalam aorta, sehingga aliran darah dari arteri pulmonalis ke aorta.
PDA dalam kehamilan itu berbahaya bila terjadi hipertensi pulmonal yang dapat menyebabkan kelemahan otot jantung.
Atrial septal defek (ASD). ASD adalah keadaan di mana septum interatrium tetapterbuka. Perubahan hemodinamik yang nyata terjadi bila diameter septum 2 cm atau lebih. Akibat ASD terjadi aliran darah dari atrium kiri ke kanan sehingga aliran darah di paru-paru bertambah dan darah atrial dan venous bercampur. Keadaan ini dapat mengakibatkan hipertensi pulmonal dan dekompensasi ventrikel kanan. Bahaya dalam kehamilan terutama kalau terjadi hipertensi pulmonal yang dapat menyebabkan aliran darah yang terbalik.
Ventrikel septal defek (VSD). VSD adalah penutupan sekat antara ventrikel kiri dan ventrikel kanan tidak sempurna. Bila lubang terletak di atas, kelainan sering bersamaan dengan kelainan lain, seperti ASD dan stenosis pulmonalis. Tempat yang sering ialah di bawah katup aorta.
Pada kehamilan sehubungan dengan perubahan hemodinamik, hipertensi pulmonal lebih mudah terjadi. Apabila hal ini terjadi, dekompensasi ventrikel kanan akan terjadi dan sangat membahayakan pasien.

2.       Asma

Asma bronkiale merupakan salah asatu penyakit saluran nafas yang sering dijumpai dalam kehamilan dan persalinan. Penderita biasanya pernah berobat kedokter lain.
Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya serangan asma tidaklah selalu sama pada setiap penderita, bahkan asma, serangannya tak sama pada kehamilan pertama dan berikutnya. Kurang dari sepertiga penderita asma akan membaik dalam kehamilan, lebih dari 1/3 akan menetap, serta kurang dari 1/3 lagi akan menjadi buruk atau serangan bertambah. Biasanya serangan akan timbul mulai usia kehamilan 24 minggu sampai 36 minggu, dan pada akhir kehamilan serangan jarang terjadi.
Pemeriksaan yang dilakukan oleh tim ahli asma Kalifornia (tahun 1983) pada 120 kasus asma yang hamil, dan terkontrol baik, terdapat 90% dari penderita tidak pernah dapat serangan dalam persalinan, 2.2% menderita serangan ringan dan hanya 0.2% yang menderita asma berat yang dapat diatasi dengan obat-obat intravena. Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat tergantung dari sering dan beratnya serangan, karena ibu dan janin akan kekurangan oksigen (02) atau hipoksia. Keadaan hipoksia bila tidak segera diatasi tentu akan berpengaruh pada janin, dan sering terjadi keguguran, persalinan prematur atau berat janin tidak sesuai dengan usia kehamilan (gangguan pertumbuhan janin).
Faktor pencetus timbulnya asma, antara lain zat-zat alergi, infeksi saluran nafas, pengaruh udara dan faktor psikis. Penderita selama kehamilan perlu mendapat pengawasan yang baik, pegawasan yang baik, biasanya penderitamengeluh napas pendek, berbunyi, sesak dan batuk-batuk. Diagnosis dapat ditegakkan seperti asma diluar kehamilan.
DEFINISI
Asma adalah penyakit paru kronis yang melibatkan berbagai varietas immune sistem cell, yang menyebabkan timbulnya respon bronkus berupa wheezing, dyspne, batuk, dan dada terasa berat
PATOFISIOLOGI
Asma adalah peradangan kronik saluran nafas dengan herediter utama. Peningkatan respon saluran nafas dan peradangan berhubungan dengan gen pada kromosom 5, 6, 11, 12, 14, & 16 termasuk reseptor IgE yang afinitasnya tinggi, kelompok gen sitokin dan reseptor antigen T-cell sedangkan lingkungan yang menjadi allergen tergantung individu masing-masing seperti influenza atau rokok. Asma merupakan obstruksi saluran nafas yang reversible dari kontraksi otot polos bronkus, hipersekresi mukus dan edem mukosa. Terjadi peradangan di saluran nafas dan menjadi responsive terhadap beberapa rangsangan termasuk zat iritan, infeksi virus, aspirin, air dingin dan olahraga. Aktifitas sel mast oleh sitokin menjadi media konstriksi bronkus dengan lepasnya histamine, prostaglandin D2 dan leukotrienes. Karena prostaglandin seri F dan ergonovine dapat menjadikan asma, maka penggunaannya sebagai obat – obat dibidang obstetric sebaiknya dapat dihindari jika memungkinkan.
PEMERIKSAAN
1. Riwayat
Pasien dengan riwayat asma yang telah berlangsung sejak lama ditanya sejak kapan, derajat serangan-serangan sebelumnya. Penggunaan kortikosteroid yang telah lalu, riwayat sering dirawat di rumah sakit, riwayat ventilasi mekanik yang pernah dialami, atau perawatan di ruang rawat darurat yang baru dialami dapat memberikan petunjuk bagi adanya serangan lebih parah atau membandel yang membutuhkan perawatan di rumah sakit.
2.   Pemeriksaan Fisik
Serangan yang parah dicurigai dari adanya sesak nafas pada waktu istirahat, kesulitan mengucapkan kalimat, diaforesis atau penggunaan otot-otot pernafasan tambahan. Kecepatan respirasi lebih besar dari 30 kali/menit, nadi berdenyut lebih cepat dari 120 kali/menit dan pulsus paradoksus yang lebih besar dari 18 mmHg menunjukkan serangan berat yang berbahaya.
Gejala yang ditemui : wheezing sedang sampai bronkokonstriksi berat. Bronkospasme akut dapat bergejala obstruksi saluran nafas dan menurunnya aliran udara. Kerja system pernafasan menjadi meningkat drastis dan pada pasien dapat dilihat gerakan dada yang tertinggal, wheezing atau kesukaran bernafas. Peristiwa berikutnya pada refleks oksigen primer terjadi reflek ventilasi perfusi yang tidak sepadan karena distribusi dari saluran udara (bronchus) secara merata tidak terjadi.
Adapun tingkatan klinik asma dapat dilihat pada table berikut dibawah ini
Tingkatan PO2 PCO2 pH FEV1(% predicted)
a.       Alkalosis respiratori sedang Normal ↓ ↑ 65 – 80
b.      Alkalosis respiratori ↓ ↓ ↑ 50 – 64
c.       Tingkat waspada ↓ Normal Normal 35 – 49
d.      Asidosis respiratori ↓ ↑ ↓ < 35
Pada kasus asma sedang, hipoksia pada awalnya dapat dikompensasi oleh hiperventilasi, sebagai refleksi dari PO2 arteri normal, menurunnya PCO2 dan alkalosis respiratori. Akibat penyempitan saluran udara yang bertambah berat gangguan ventilasi perfusi menjadi bertambah berat juga dan arterial hipoksemi terjadi. Pada obstruksi berat, ventilasi menjadi berat karena fatigue menjadikan retensi CO2.Pada hiperventilasi, keadaan ini hanya dapat dilihat sebagai PCO2 arteri yang berubah menjadi normal. Akhirnya pada obstruksi berat yang terjadikegagalan pernafasan dengan karakteristik hiperkapnia dan asidemia.
Walaupun perubahan ini bersifat reversibel dan dapat ditoleransi pada wanita tidak hamil namun, setiapa awal derajat tingkatan asma sangat berbahaya untuk wanita hamil dan bayinya. Penurunan kapasitas fungsi residu dan peningkatan efektif shunt menyebabkan wanita hamil lebih rentan terhadap hipoksia dan hipoksemia.
3. Pemeriksaan Fungsi Paru
Pemeriksaan fungsi paru seringkali normal dalam masa remisi. Selama masa serangan akut dan kadang-kadang ketika tidak ada simptom, volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV1) berkurang dan juga kapasitas vital paksa (FVC) mengalami penurunan yang secara proporsional lebih kecil sehingga perbandingan FEV1 terhadap FVC menjadi berkurang (< 0,75). Dapat juga dijumpai hiperinflasi dengan kenaikan volume residual (FRC).
4.      Pemeriksaan-pemeriksaan Laboratorium
a. Spirometri
Pengukuran yang objektif terhadap aliran udara sangat penting dalam evaluasi dan terapi terhadap serangan. Perawatan di rumah sakit dianjurkan bila FEV1 inisial kurang dari 30% dari harga normal atau tidak meningkat hingga paling sedikit 40% dari harga normal setelah diberikan terapi kuat selama 1 jam.
b. Gas-gas Darah Arteri (GDA)
Ketimpangan ventilasi dan perfusi (ketimpangan V/Q) akibat obstruksi jalan nafas akan menimbulkan peningkatan selisih tekanan oksigen alveolar-arterial [P(A-a) O2] yang berkorelasi secara kasar dengan keparahan serangan. Tekanan oksigen arterial (Pa O2) kurang dari 60 mmHg bisa merupakan tanda suatu serangan akut atau keadaan yang menyulitkan.
         Hampir semua pasien asma yang mengalami serangan ringan hingga sedang-berat akan mengalami hiperventilasi dan mempunyai tekanan CO2 arterial (Pa CO2) kurang dari 35 mmHg. Pada serangan berat atau yang berlangsung lama Pa CO2 bisa meninggi sebagai akibat dari kombinasi obstruksi berat jalan nafas, perbandingan V/Q yang tinggi menyebabkan peningkatan ventilasi, dan kelelahan otot-otot pernafasan. Pa CO2 yang meninggi bisa merupakan tanda bagi kegagalan pernafasan yang sedang mengancam.
Pa CO2 lebih besar dari 40 mmHg yang berkelanjutan dan disertai tanda-tanda lain asma berat, hendaknya dikelola dalam unit perawatan intensif dengan evaluasi yang seksama untuk mengetahui perlu tidaknya diberikan intubasi atau ventilasi mekanik.
c. Foto Thorax
Foto Thorax perlu dilakukan ringan. Pertimbangkan usia kehamilan
PENGARUH ASMA TERHADAP KEHAMILAN
Asma sewaktu kehamilan terutama asma yang berat dan tidak terkontrol dapat menyebabkan peningkatan resiko komplikasi perinatal seperti preeklampsi, kematian perinatal, prematur dan berat badan lahir rendah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar